Kebakaran Hutan dan Kabut Asap

 


Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) adalah salah satu bencana alam sekaligus bencana ekologis terbesar yang berulang di Indonesia, terutama di Sumatra dan Kalimantan. Berbeda dengan gempa bumi atau tsunami yang terjadi secara tiba-tiba tanpa bisa dicegah, kebakaran hutan di Indonesia seringkali terjadi karena ulah manusia, baik disengaja maupun tidak. Inilah yang membuat karhutla menjadi fenomena tragis: ia bukan hanya bencana alam, tetapi juga bencana yang dipicu perilaku manusia.

Penyebab Kebakaran Hutan

Ada dua faktor utama yang menyebabkan kebakaran hutan: faktor alami dan faktor manusia.

  1. Faktor alami biasanya terkait dengan musim kemarau panjang. Indonesia yang beriklim tropis memiliki periode kering ketika curah hujan turun sangat sedikit. Pada periode El Niño, kemarau bisa berlangsung lebih panjang dari biasanya. Kondisi ini menyebabkan hutan menjadi sangat kering, sehingga mudah terbakar.
  2. Faktor manusia adalah penyebab terbesar. Pembukaan lahan dengan cara membakar adalah praktik yang sudah lama digunakan karena dianggap murah dan cepat. Perusahaan perkebunan, khususnya sawit dan akasia, sering dituding menggunakan cara ini untuk memperluas lahan. Selain itu, masyarakat kecil yang membuka lahan pertanian juga kadang ikut menggunakan metode pembakaran. Sayangnya, api yang dinyalakan sering tidak terkendali, meluas, dan akhirnya membakar area yang sangat luas.

Skala Kebakaran

Kebakaran hutan di Indonesia tidak hanya berskala lokal, tetapi juga bisa menjadi krisis nasional. Pada tahun 1997–1998, kebakaran besar melanda Sumatra dan Kalimantan. Saat itu, lebih dari 10 juta hektar hutan dan lahan terbakar. Kabut asap yang ditimbulkan menyebar hingga ke Malaysia, Singapura, dan Brunei. Diperkirakan, kerugian ekonomi mencapai lebih dari 9 miliar dolar AS.

Krisis serupa kembali terjadi pada tahun 2015, ketika karhutla besar melanda. Data resmi menyebutkan sekitar 2,6 juta hektar lahan terbakar. Asap menutupi langit Sumatra, Kalimantan, hingga sebagian Papua. Bandara ditutup, sekolah diliburkan, dan aktivitas masyarakat lumpuh. WHO mencatat jutaan orang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), sementara bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia menjadi korban paling rentan.

Dampak Lingkungan

Kebakaran hutan memiliki dampak yang sangat luas. Pertama, ia menghancurkan keanekaragaman hayati. Hutan Indonesia adalah rumah bagi ribuan spesies unik, termasuk orangutan, harimau Sumatra, dan gajah. Saat hutan terbakar, satwa-satwa ini kehilangan habitatnya. Banyak yang mati terbakar atau terjebak tanpa makanan.

Kedua, kebakaran hutan merusak ekosistem gambut. Lahan gambut menyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Ketika terbakar, karbon ini dilepaskan ke atmosfer dalam jumlah luar biasa. Tahun 2015, emisi karbon dari kebakaran hutan Indonesia bahkan sempat melampaui emisi harian Amerika Serikat. Hal ini menjadikan karhutla bukan hanya masalah nasional, tetapi juga masalah global yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Ketiga, kebakaran hutan merusak siklus air. Hutan yang hilang membuat air hujan tidak lagi terserap, meningkatkan risiko banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.

Dampak Kesehatan dan Sosial

Kabut asap yang ditimbulkan kebakaran hutan adalah ancaman serius bagi kesehatan manusia. Konsentrasi asap mengandung partikel halus (PM2.5) yang sangat berbahaya bagi paru-paru. Anak-anak mengalami batuk berkepanjangan, sulit bernapas, hingga pneumonia. Rumah sakit kewalahan menangani pasien ISPA.

Secara sosial, kebakaran hutan menyebabkan gangguan besar pada kehidupan sehari-hari. Sekolah terpaksa ditutup berminggu-minggu, bandara ditutup karena jarak pandang hanya beberapa meter, dan aktivitas ekonomi lumpuh. Banyak pekerja kehilangan pendapatan karena tidak bisa bekerja.

Kabut asap juga memicu masalah diplomatik. Negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia sering melayangkan protes keras kepada Indonesia karena asap melintas batas negara dan mencemari udara mereka. Hubungan bilateral sempat memanas, dan dunia menuntut Indonesia lebih serius menangani masalah ini.

Respons Pemerintah

Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah lama menyadari bahaya kebakaran hutan. Sejumlah kebijakan diterapkan, mulai dari larangan membakar lahan hingga pembentukan satgas khusus. Pada 2015, Presiden Joko Widodo bahkan turun langsung meninjau lokasi kebakaran dan memerintahkan TNI serta Polri untuk membantu pemadaman.

Namun, tantangan di lapangan sangat besar. Lahan yang terbakar luasnya mencapai jutaan hektar, sementara akses ke lokasi sulit. Banyak kebakaran terjadi di lahan gambut yang api di bawah permukaan tanah sulit dipadamkan, bahkan bisa menyala berbulan-bulan.

Meski demikian, pemerintah terus memperkuat upaya pencegahan. Teknologi modifikasi cuaca (TMC) digunakan untuk menurunkan hujan buatan. Pesawat water bombing dikerahkan untuk menjatuhkan air ke titik api. Masyarakat juga dilibatkan dalam program desa peduli api untuk mencegah pembakaran sejak dini.

Tantangan Penegakan Hukum

Salah satu kendala terbesar adalah lemahnya penegakan hukum. Banyak perusahaan perkebunan yang dituding terlibat, tetapi sulit dibuktikan secara hukum. Ada pula kasus di mana perusahaan mengklaim tidak bersalah karena api disebut berasal dari pembukaan lahan masyarakat. Padahal, praktik pembakaran seringkali melibatkan kolaborasi keduanya.

Pemerintah sudah menjatuhkan sanksi administratif dan denda kepada beberapa perusahaan, bahkan mencabut izin usaha. Namun, masih banyak kasus yang tidak terselesaikan. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci agar upaya pencegahan lebih efektif.

Upaya Jangka Panjang

Untuk mengatasi kebakaran hutan, solusi jangka panjang mutlak diperlukan. Beberapa langkah penting meliputi:

  1. Restorasi lahan gambut: Pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk memulihkan ekosistem gambut dengan cara membasahi kembali lahan yang kering.
  2. Penguatan hukum: Perlu adanya penegakan hukum yang lebih tegas terhadap perusahaan atau individu yang terbukti membakar lahan.
  3. Edukasi masyarakat: Penduduk lokal harus diberi alternatif metode membuka lahan yang ramah lingkungan, tanpa harus membakar.
  4. Kerja sama regional: Negara-negara ASEAN sepakat bekerja sama dalam mencegah asap lintas batas. Ini termasuk mekanisme bantuan pemadaman lintas negara.
  5. Perubahan perilaku konsumsi global: Sebagian besar kebakaran hutan terjadi untuk memenuhi permintaan global terhadap minyak sawit dan kertas. Oleh karena itu, konsumen internasional juga harus lebih bijak dalam memilih produk yang berkelanjutan.

Harapan untuk Masa Depan

Meski kebakaran hutan masih menjadi masalah besar, ada tanda-tanda kemajuan. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kebakaran berhasil ditekan dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa dengan komitmen politik yang kuat, dukungan teknologi, serta kesadaran masyarakat, bencana ini bisa dikurangi.

Namun, jalan masih panjang. Selama praktik pembukaan lahan dengan cara membakar dianggap cara termudah, kebakaran akan terus berulang. Dibutuhkan sinergi antara pemerintah, perusahaan, masyarakat, dan komunitas internasional untuk benar-benar menghentikan siklus bencana ini.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama